home
"Hah? Kamu putus lagi sama pacar kamu? Yang cantik
itu?"
Lelaki di hadapanku hanya berdeham sambil mengusap wajahnya
yang kian hari terlihat lebih dewasa. Ia kemudian menatapku sembari tersenyum
tipis.
"Kan aku yang putus, kenapa kamu yang repot?"
tanyanya ringan.
Entah kenapa siang ini rumah makan langganan kami cukup sepi,
padahal biasanya selalu ramai karena karyawan berbondong-bondong datang untuk
makan siang. Karena suasana itulah aku
dapat mendengar tawa renyahnya dengan jelas.
Aku mengeryitkan dahi. "Udah empat kali kamu pacaran
dan empat kali juga kamu putus tahun ini, nggak capek? Masa sih, dari semua
mantan-mantan kamu nggak ada satu pun yang bikin kamu bener-bener cinta?"
"Ada," balasnya cepat denga penuh keyakinan.
"Siapa?"
"Kamu," jawabnya asal. Bagaimana aku tahu dia
hanya menjawab asal? Dia bahkan tidak menatapku saat berkata demikian. Aku
mendengus kasar.
"Aku bukan mantan kamu,"
"Kamu emang nggak akan pernah jadi mantan aku."
Terlampau bingung, aku memilih diam. Lelaki di hadapanku
mulai meminum es teh manisnya, menunggu pesanan makanan kami yang belum juga
datang. Sedangkan aku, masih menatapnya—seperti selama ini—dengan lelah. Aku
sudah kenal dan bersahabat dengannya sejak SMA. Dia lelaki cerdas yang dengan
mudah memainkan perasaan wanita, amat halus, amat manis. Bisa saja semua
perempuan jatuh padanya hanya dalam beberapa kali temu dan pesan singkat,
kecuali aku, mungkin. Bisa jadi karena itulah ia tetap mau berteman denganku
sampai sekarang kita sama-sama mendewasa—jika tidak ingin kusebut menua.
"Kamu tuh udah tua, sudah 26 tahun, nggak terasa bentar
lagi udah 30. Kalau kamu main-main terus, nggak ada cewek yang mau sama kamu. Kamu
udah harus serius, dong."
Kuulangi lagi, ia suka sekali memainkan perasaan perempuan.
Ia merayu mereka, menerima setiap pernyataan cinta mereka, lalu memutuskannya tidak
lama setelahnya.
Rupanya ia mendengar omonganku tadi, kukira tidak. Matanya
menatapku tajam. "Ada!"
Aku akui aku sedikit terkejut dengan responnya yang spontan.
"S-Siapa?"
"Pasti ada."
Aku menghela nafas, mencoba bersabar. “Ya, siapa
contohnya?"
"Kamu."
“Apa sih, nggak lucu."
Ia mencebikkan bibirnya kesal, mungkin karena reaksiku yang
tidak sesuai ekspektasinya. Atau mungkin dia hanya lapar. Cuaca terik yang
menambahkan sensasi panas dalam pembicaraan kami. Untung suasana rumah makan
ini sedang agak sepi, jadi aku tidak tambah kepanasan oleh keberadaan orang
banyak.
"Hey," ia memanggilku pelan.
"Hm?" Aku hanya merespon seadanya karena terlanjur kesal.
"Aku emang suka bercanda, tapi aku nggak selalu
bercanda, 'kan?"
Aku hanya diam. Intonasinya kali ini mencerminkan keseriusan,
begitupun sorot matanya, walaupun sekarang sedang tidak ke arahku. Entah apa
yang ia tatap di luar jendela.
"Dengerin aku, ya, yang bakal aku ceritain ini bukan
candaan, tapi serius," ucapnya dengan suara yang dalam. Suasana sepi kian
menambah intensitas konversasi kami.
"Oke,"
"Kamu tahu kan, orangtuaku sekarang udah pensiun dan
milih tinggal di kampung, jadi rumahnya sekarang aku tempatin sendirian. Warna
rumahnya emang bukan hijau kesukaan kamu, tapi krem yang gampang kotor dan kamu
bete kalo ada dinding kotor. Tapi ada halaman kecil yang bisa kamu tanam apa
aja yang kamu mau, ada teras juga kalau misalkan kamu mau duduk sambil ngeteh
dan baca buku. Kalau malam suka ada tukang sate mangkal, jadi nggak ada wangi-wangian
bunga, yang kecium cuma asap sate. Terus, kalau udah mau tengah malam, pos
ronda pasti rame suara bapak-bapak, ngalahin suara musik indie yang suka kamu play taip sebelum tidur. Tapi seenggaknya, aku
yang punya rumah. Yang tinggal di situ cuma aku. Sendirian."
Hening memenuhi sekitar kami karena aku enggan membalas dan
memilih ia yang melanjutkan. Mendengarkan tiap celoteh anehnya dengan seksama. Kata
demi kata. Seperti yang selama ini aku lakukan.
"Sepi baget di rumah itu. Jadi aku cari teman buat
tinggal di sana. Pacarku yang baru aku putusin nggak suka bau asap sate. Pacar
aku yang sebelumnya gak suka duduk-duduk di teras, katanya panas. Yang
sebelumnya lagi gak suka dengar suara bapak-bapak ngeronda, berisik katanya."
Sudah sepanjang ini ia cerita tapi matanya masih juga tak menatap ke arahku.
"Tadi pagi aku telepon seseorang buat aku ajak tinggal
bareng, tapi dia nggak mau soalnya udah punya istri."
Aku tertawa keras, meski masih kebingungan dengan arah
pembicaraannya. Apa pula yang merasukinya hingga mengajak laki-laki beristri
tinggal bersama?
"Karena dia nggak mau jadi aku tanya lagi, boleh apa
enggak aku ajak anak perempuannya tinggal bareng, eh, dia malah marah. Katanya
suruh kawin dulu. Aku balik marah ke dia, kataku, nikah dulu baru kawin."
Aku tertawa lagi. Jauh lebih keras dari yang sebelumnya.
"Kamu nelpon siapa, sih?"
"Eh tapi aku sadar aku salah lagi," ia melanjutkan
ceritanya tanpa menjawab pertanyaanku. "Harusnya aku lamar dulu baru aku nikahi."
Saat itulah aku tertegun. Dia? Menikah? Aku akui aku memang
menyuruhnya untuk serius menjalani hubungan dan segera menikah, tapi nyatanya
ternyata aku belum siap kehilangan dia. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke
arahku, akhirnya. Ia menatapku lekat-lekat.
"Kamu mau jadi temanku di rumah itu?"
Aku terkesiap namun langsung mencoba menguasai diri. Aku
menelaah wajahnya, mencoba mencari kebohongan disana. Namun nihil. Sorot
matanya tajam dan serius. Alisnya menyatu, menanti jawabanku detik itu juga.
"Jangan bercanda, ah. Waktu kamu cerita tadi aja, kamu
nggak liat aku."
"Kata siapa? Aku liat,"
"Boong!"
"Aku liat kamu lewat kaca jendela, aku gugup,"
balasnya dengan nada lugu yang jarang aku dengar keluar dari dirinya.
Saat inilah aku tahu aku tak dapat menghindari rasa ini
darinya. Sama seperti menghindari keberadaannya saat ia sedang merangkum cinta
dengan yang lain.
"Jadi, kamu mau?" tanyanya tak sabar
Aku menghela nafas dalam-dalam sambil menatap kedua matanya
dengan putus asa. Sepasang mata yang selama ini selalu kuharapkan untuk melihat
keberadaanku di sisinya. Tiba-tiba pandanganku mulai kabur. Terhalang oleh air
mataku yang menggenang.
"Eh eh eh, jangan nangis," ucapnya panik dan
mengusap kedua belah pipi basahku. "Waktu aku ajak ayah kamu tinggal sama
aku, dia nolak mentah-mentah, tapi aku nggak nangis."
Aku tertawa di sela tangisku. "Iya, aku mau."
Ia tercekat. Pergerakannya tiba-tiba berhenti.
"Aku mau. Serius. Aku mau tinggal sama kamu di rumah itu.
Aku mau duduk di teras sambil minum teh dan baca buku. Aku mau nyium bau asap
sate tiap malem. Aku mau ikut ketawa karena diam-diam dengerin obrolan
bapak-bapak ronda. Aku mau tinggal sama kamu. Aku dan kamu, keluarga
kita."
Kemudian wajah itu tersenyum cerah. Sangat cerah. Melengkungan
sebuah senyum tulus yang baru aku sadari ternyata hanya ia tunjukkan bila
sedang bersamaku. Senyum yang membuatku jatuh lebih dalam padanya dibanding
perempuan-perempuan lain. Senyum yang meyakinkanku bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Senyum yang tiada dua.
Demi Tuhan, aku akan melakukan apapun untuk melihat senyum
itu lagi. Seumur hidupku. Seumur hidup kami.
***
Yay! Postingan terakhir tahun ini! I'm glad I could make a short story while I thought I couldn't karena emang udah terlalu lama gak nulis cerpen, or, any kind of story. Anyway, I do hope 2018 will be my productive year.
Happy new year, everyone!
p.s : this short story IS NOT based on my personal experience ok.
engga gue ga percaya sama p.s nya
ReplyDeleteboong ah p.s nya
ReplyDelete